01 Oktober 2009

Minimal State Ibn Khaldun

Oleh Saidiman

Sejak mula berdiri, Jaringan Islam Liberal (JIL) menggalakkan tradisi tahunan mengkaji pemikiran Islam klasik. Tradisi ini diadakan setiap bulan Ramadan dan disebut Tadarrus Ramadan. Pada tahun ini, Tadarrus Ramadan JIL mengkaji pemikiran Ibn Khaldun. Ibn Khaldun dikenal sebagai perintis ilmu sosial.

Kajian Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) mengenai masyarakat dan politik yang tertuang dalam buku Muqaddimah boleh jadi adalah jejak penelitian sosial ilmiah yang paling awal. Ibn Khaldun secara tegas menolak jalan tradisional yang ditempuh para pemikir sebelumnya untuk menjelaskan fenomena dan sejarah sosial dan politik. Menurut Ibn Khaldun, para pemikir sebelum dia cenderung tidak sistematis dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi hanya yang tampak di permukaan. Para peneliti sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau sekedar asumsi dan dongeng belaka.

Kekurangan utama peneliti sebelum Ibn Khaldun juga adalah ketiadaan penjelasan mengenai sebuah peristiwa atau fenomena yang ada dalam karya-karya mereka. Sehingga pembaca tidak bisa mengetahui kenapa sebuah peristiwa terjadi. Dari keberatan-keberatan itulah Ibn Khaldun kemudian menekankan pentingnya metodologi dalam historiografi. Ibn Khaldun mengklaim bahwa dialah ilmuan sejarah pertama yang mengemukakan fakta sejarah dengan pendekatan metodologi ilmiah yang bertanggungjawab.


Sentimen Primordial

Ibn Khaldun meneliti fakta-fakta sejarah yang terjadi di masyarakat Asia Barat, Asia Tengah Afrika, dan Eropa. Dia menemukan sebuah pola di mana pembentukan masyarakat sangat ditentukan oleh adanya sentimen primordial atau solidaritas sosial. Dia menyebutnya Ashabiyah. Adanya perasaan senasib sepenanggungan menyebabkan sentimen primordial itu menjadi demikian kuat. Masyarakat nomaden memiliki sentimen primordial jauh lebih kuat daripada masyarakat kota yang tinggal menetap.

Sesungguhnya dunia Islam tidak terlalu banyak mengenal konsep tentang negara. Ibn Khaldun adalah satu pengecualian. Ibn Khaldun mencoba menganalisis proses pembentukan negara dari solidaritas sosial. Menurut Ibn Khaldun, puncak dari ashabiyyah adalah terbentuknya otoritas politik (dawlah). Dari penjelasan ini, ditemukan bahwa Ibn Khaldun sesungguhnya mengeksplisitkan sesuatu yang selalu ingin dilampaui oleh negara modern, namun dalam praktiknya masih tampak penting, yaitu sentimen primordial. Sentimen primordial bahkan semakin menemukan signifikansinya dalam realitas gerakan sosial dan politik belakangan ini. Menurut Ibn Khaldun, bertahan tidaknya sebuah negara tergantung kepada sejauh mana solidaritas primordial itu tetap terjaga. Malangnya, pembentukan dawlah justru menjadi pintu masuk kepada rusaknya sentimen primordial. Karena pembentukan dawlah berarti mengakhiri masa-masa sulit dan dimulainya hidup menetap di kota. Itu artinya kemewahan menjadi realitas yang dinikmati.

Logika Kekuasaan

Ibn Khaldun menemukan bahwa semua otoritas politik memiliki karakter utama yang sama, yakni keinginan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya. Itulah sebabnya, ketika kekuasaan politik diraih, maka yang terjadi adalah kecenderungan memusatkan kekuasaan pada satu orang. Seorang penguasa tidak ingin membagi kekuasaannya sedikitpun kepada orang lain. Pada mulanya, sang penguasa akan mengambil orang-orang terdekat yang memiliki sentimen primordial yang sama untuk dijadikan teman dan pembantu utama. Tapi rasa curiga yang muncul kemudian akan mengalihkan perhatian penguasa kepada orang-orang luar. Pada akhirnya, sentimen primordial semakin merenggang dan akan membuka pintu masuk orang-orang luar untuk mengambil kekuasaan. Hasrat untuk mempertahan kekuasaan a la Ibn Khaldun itu mengingatkan kita kepada nasihat-nasihat politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam Il Principe.

Sepintas memang akan tampak bahwa Ibn Khaldun berbeda cukup jauh dengan Machiavelli. Jika Ibn Khaldun menganggap agama memiliki peran vital dalam mempertahankan dawlah, hubungannya dengan solidaritas, maka Machiavelli justru cenderung curiga pada agama. Sebagian ajaran agama, menurut Machiavelli, justru adalah penghambat kekuasaan politik.

Tetapi mari kita perhatikan logika yang dibangun oleh Ibn Khaldun. Karena penguasa cenderung otoriter, menurut Ibn Khaldun. maka diperlukan penegakan hukum agama. Kekuasaan akan bisa diselamatkan dari tangan penguasa yang otoriter jika negara itu bersandar kepada hukum agama. Harus diketahui bahwa agama pada masa itu sesungguhnya adalah peradaban dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Menyandarkan diri pada hukum Islam artinya adalah berpedoman kepada tata nilai yang tumbuh di masyarakat itu sendiri. Hal itu tidak berbeda dari sistem hukum yang berlaku di Inggris yang mendasari apa yang Friedrich August Hayek (1899 – 1992) sebut liberalisme evolusionis empirisis Inggris. Para pemikir Yunani hampir sepakat bahwa kekuasaan politik (negara) tidak berdasar kepada otoritas orang per orang, melainkan kepada apa yang disebut isonomia. Konsep isonomia inilah yang di zaman modern disebut sebagai rule of law (hukum). Inggris modern adalah contoh terbaik di mana negara berdiri di atas rule of law.

Menurut Ibn Khaldun, ada empat tipe kekuasaan yang mungkin muncul. Pertama, siyaasah thaabi’iyyah, kedaulatan alami yang muncul dalam komunitas. Kedua, siyaasah ‘aqliyyah, kekuasaan yang dirancang oleh para cerdik pandai. Ketiga, madiinah al-fadlilah, negara utopis a la Plato dan al-Farabi. Dan Keempat, siyaasah diniyyah, negara yang berdasarkan kepada hukum agama.

Minimal State


Jika logika Ibn Khaldun ini terus ditelusuri secara konsisten, maka sesungguhnya dia mengidealkan sebuah tata pemerintahan minimal state. Negara harus berdasar kepada hukum. Dan hukum adalah apa yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat atau rakyat memiliki posisi yang sangat vital dalam teori negara Ibn Khaldun. Negara tidak berpusat pada otoritas kekuasaan melainkan pada rakyat.

Apa yang diungkap oleh Ibn Khaldun ini sebenarnya cenderung mirip dengan konsepsi negara modern, terutama dalam teori-teori kontrak sosial yang digagas oleh Thomas Hobbes (1588 -1679) dalam Leviathan (1651), John Locke (1632-1704) dalam Second Treatise on Government (1680), dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam The Social Contract ( 1761). Melalui teori kontrak sosial, ketiga pemikir Pencerahan itu sepakat pada satu hal bahwa pada mulanya ada kesepakatan di antara masyarakat untuk membentuk komunitas politik, dengan tujuan yang hampir sama, yakni menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Thomas Hobbes menyatakan bahwa pada mulanya kehidupan penuh dengan kekacauan, oleh karenanya dibutuhkan negara untuk sebuah keteraturan. John Locke berangkat dari pengandaian bahwa pada mulanya kehidupan manusia justru adalah damai, negara dibentuk untuk menjaga kedamaian itu. Sementara J. Rousseau menyatakan bahwa pengandaian tentang state of nature adalah klaim moral tentang absennya subordinasi alami di antara sesama manusia.

Akan lebih jelas jika kita melihat tipe ideal pemegang tampuk kekuasaan. Menurut Ibn Khaldun, penguasa tidak mesti adalah yang paling cerdas dan pintar, bahkan sebaiknya tidak terlalu pintar dan cerdas. Penguasa yang terlalu pintar dan cerdas cenderung akan melakukan kekangan terhadap kebebasan masyarakat, sebab dia mendaku mengetahui semua hal. Sementara pemimpin yang kurang cerdas akan cenderung membuka ruang bagi masyarakat untuk berkreasi dan menentukan nasibnya sendiri. Pemimpin yang terlalu cerdas akan mendesakkan bentuk negara di mana satu orang bisa mendesain segala hal. Dan itu ujungnya adalah otoritarianisme. Sementara negara dengan pemimpin yang kurang cerdas akan memungkinkan tumbuhnya spontanious order (meminjam istilah Friedrich Hayek dalam The Constitution of Liberty (1961).

Spontanious order mengandaikan sebuah bentuk kedaulatan politik yang tidak berpusat pada satu tangan. Sebab tidak ada manusia yang bisa menentukan baik buruknya masa depan manusia yang lain. Dengan demikian, ruang kebebasan yang seluas-luasnya menjadi sangat penting dalam pembangunan peradaban. Angan-angan Ibn Khaldun itu tampak mulai muncul dalam bentuk negara modern yang meminimalkan peran penguasa dan memberi kekuasaan yang luas kepada rakyat.

Wa Allah A’lam


(Jaringan Islam Liberal)