06 Mac 2009

Posisi Ideologis dan Representasi: Perempuan Berkalung Sorban, Membela atau Merusak Nama Islam?

oleh Ekky Imanjaya
Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta

“Maaf jika ada yang tidak berkenan. Peringatan keras bagi yang punya pemikiran antikebebasan, silakan jauhi film ini daripada nanti anda sakit hati.”

(Hanung Bramantyo)

Film terbaru Hanung Bramantyo, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) memicu kontroversi. Dua kelompok saling menjadi oposisi. Kelompok anti-PBS, sebut saja begitu, menyatakan bahwa film ini sesat menyesatkan, menjelek-jelekkan pesantren dan Islam secara umum, bagian dari propaganda Islam Liberal, menyatakan agar film ini jangan ditonton, dan bahkan ada yang berniat untuk memboikotnya secara jama’i. Sebagian ulama dan tokoh Islam menyerukan hal itu tanpa menontonnya terlebih dulu, sebuah pengulangan kesalahan yang pernah dilakukan KH. Abdullah Gymnastiar saat “mengharamkan” Buruan Cium Gue. Tapi ada juga yang sudah menontonnya dan bersuara, di antaranya emosional.



Sineas senior yang akrab dengan representasi keislaman dalam sinema, Chaerul Umam (Al-Kautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah) dan Deddy Mizwar (Kiamat Sudah Dekat, serial TV Para Pencari Tuhan) ada di kubu ini, walau pun bukan dalam bandul terekstrimnya. Dalam beberapa media, Deddy Mizwar menyatakan, bahwa cerita yang disajikan dalam film itu sangat menyudutkan Islam: fikih-fikih Islam yang dihadirkan dalam PBS cenderung tidak jelas serta memiliki penafsiran sepihak saja. Senafas dengan itu, Chaerul menyatakan adanya ketidakseimbangan (unbalance) dalam film tersebut. Bagaimana kisah buruk kiyai dan pesantren yang di-blow up secara sepihak, sedangkan pesantren dan kiyai yang bagus tidak disentuh (Tribun Batam, 14/2).

Kelompok pro-PBS tak habis-habisnya heran. “Apa yang salah dengan film ini?”; “mengapa tokoh agama semacam MUI harus ikut campur dan bahkan melarang-larang film ini?”; “mengapa kita tak boleh mengkritisi ajaran agama?”, kira-kira begitu komentar mereka. Di antara mereka menyatakan bahwa film ini bagus karena mengkritik praktik-praktik yang menyalahi ajaran Islam yang sebenarnya. “Apakah salah kalau menggambarkan Islam dengan buruk dalam sebuah film?”, demikian salah seorang facebooker bertanya pada saya. Justru, bagi mereka, film ini berani membongkar kasus-kasus penindasan perempuan, dan kebejatan moral oknum orang pesantren khususnya kyai dan anak kyai, yang selama ini kenyataannya memang terjadi.

Tulisan ini berusaha membaca PBS tanpa harus mengikuti polarisasi pemikiran dua kubu yang semakin berjarak sejak jaman FPI versus Ahmadiyah atau pro-kontra RUU Pornografi. Dari awal saya sudah menyatakan, misalnya dalam artikel “Ayat-Ayat Misoginis” di majalah Azzikra edisi Februari 2009 bahwa film ini gagal dalam menyampaikan pesan awalnya dan malah menjadi efek bumerang. Tapi saya merasa harus menulis lagi hal ini dengan sedikit lebih dalam. Kali ini dengan dua pendekatan: status ideologis dan representasi.

Status ideologis adalah posisi sutradara dalam memandang film ini. Saya percaya Hanung sahabat saya itu mempunyai niat yang mulia saat membuat film ini dan itu jauh dari semangat merusak nama Islam. Sedangkan representasi membahas tentang apa-apa yang terlihat dan terdengar di layar perak. Status ideologis berkutat pada masalah “Apa maunya sang sutradara”, sedangkan representasi pada “Apa maunya film ini?”. Yang pertama mengkaji permasalahan epistomologis (yang mencakup filsafat ilmu dan logika), “bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai”, sedangkan yang kedua adalah persoalan ontologis seputar film dan (keterwakilan) realitas pada media film.

Status ideologis

Saya berkhayal, kalau bukan Hanung Bramantyo –yang sudah menelurkan film berlatar masyarakat Muslim semacam Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Doa yang Mengancam– apakah film ini menuai polemik sebesar ini?

Saya percaya Hanung punya idealisme tertentu –baik isu Islam atau pun gender– saat mengerjakan film ini. Tidak ada niat untuk menjelek-jelekkan citra Islam, saya berprasangka baik padanya. Saya menjadi saksi mata saat syukuran AAC, Hanung dengan suara bergetar menahan haru menyatakan bahwa sudah lama ia ingin memenuhi wasiat ibunya yang mengharapkannya membuat film tentang agama (Ayat-Ayat Cinta, Perwujudan Mimpi Hanung Bramantyo).

Kepada pers, ia menyatakan, “saya ini seorang Muslim. Di film itu, saya sama sekali tak mengkritik Islam, Al-Quran, ataupun hadis.” Baginya, PBS adalah otokritik terhadap umat Islam, terutama keluarga yang kerap menggunakan Al-Quran dan hadis secara salah untuk memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka. Di PBS, menurutnya, menggarisbawahi bahwa Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara. “Pesan itu ditampilkan oleh sosok Khudori,” tutur Hanung yang menilai bahwa kekhawatiran sebagian kalangan bahwa film PBS akan merusak pikiran umat Islam sangat tak beralasan. “Umat Islam kan sudah pada cerdas,” tambahnya.

Namun, justru itulah permasalahannya. Jika ia adalah sosok yang antipati terhadap Islam atau pesantren, tentu film ini bisa “dimaklumi” mengandung banyak sekali pencitraan yang buruk terhadap pesantren tanpa ada upaya untuk membelanya atau menawarkan Islam alternatif yang dianggapnya ideal. Tapi ini Hanung yang membuat, seorang sutradara so-called “film Islam”, yang juga berkeinginan “membela” Islam. Walhasil, film ini berefek bumerang: awalnya diniatkan untuk “memperjuangkan hak-hak Muslimah” malah terkesan menjadi film yang menggambarkan Islam kejam dan benci terhadap perempuan. Dan memang, film ini kental dengan ayat dan fatwa misoginis.

Hanung menyatakan bahwa ia mengangkat pesantren yang sudah hadir ditafsirkan Abidah El-Khaliqy pada novelnya. Kepada pers, ia mengungkapkan bahwa PBS ibaratnya membayar utang pada masyarakat khususnya kaum perempuan yang kecewa pada film AAC. “Film ini adalah hutang saya pada kaum perempuan yang sebelumnya kecewa dengan film AAC yang dianggap sangat berpihak pada poligami,” ujarnya dalam konferensi pers usai menonton PBS bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan para aktivis perempuan (10/2/2009). Kantor berita Antara menyatakan bahwa:

Hanung mengatakan banyak protes yang ditujukan padanya dibalik kesuksesan film AAC di mana ia bertindak sebagai sutradara. Sebagian besar yang memrotes adaah perempuan yang menganggap Hanung pro pada poligami dan AAC mencerminkan budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan.

“Oleh karena itu saya membuat film ini untuk meletakkan kembali bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar, manusia hanya dibedakan dari tingkat keimanannya dan bukan dari jenis kelaminnya,” ujar ayah satu anak ini.

Jadi, niatnya adalah menyeimbangkan, atau tepatnya, “meralat” AAC. Juga mengikuti penafsiran Abidah sang penulis novel.

Jadi, di mana sebenarnya letak status ideologis Hanung? Apa pandangan dan posisinya terhadap, di antaranya, budaya patriarkal, poligami, dan pesantren? Yang di AAC atau PBS? AAC dan PBS dalam konteks ini seperti adalah dua kubu yang berlawanan. Yang satu berwajah malaikat, yang satu berkelakuan Iblis. Dan seakan-akan ada relasi nasikh-mansukh, penafsiran AAC dihapus oleh PBS. Mungkin, sekilas keduanya menjadi seimbang, ada Islam sejuk, ada Islam “ganas”, tapi nyatanya persoalan tidak sesederhana itu. Persoalan keterwakilan dua realitas ini akan dibahas di bagian lain, tentu saja. Tapi, bagi saya, ada problematika ideologis: pada PBS, Hanung ada di posisi yang mana? Yang memandang Islam sebagai wajah damai atau wajah penindas? Kalau ternyata yang pertama, mengapa tidak ada satu pun tanda-tanda Islam yang membebaskan di film itu? Mengapa menawarkan solusi non-Islam seperti “Bumi Manusia” atau karya sastra dan pemikiran lain, tanpa ada satu pun penafsiran ayat atau Islam yang mengkritisi karakter-karakter antagonis, katakan saja “The Tao of Islam”-nya Sachiko Murata atau feminis berlatar Islami macam Fatimah Mernissi dan Asghar Ali Engineer? Jika niatnya menyatakan Islam yang ramah perempuan, mengapa tidak ada penafsiran gender dan perlawanan signifikan dari Islam yang “sebenarnya”? Mengutip Emha Ainun Nadjib, untuk nahi munkar (mencegah kemungkaran) tentu harus tahu munkar-nya baru kemudian di-nahi. Nah, dalam konteks PBS, mana bagian nahi-nya?

Apakah ini bisa ditafsirkan bahwa Hanung gagap (bahkan gagal) dalam menuturkan gagasannya? Atau ini adalah sebuah ayat bagaimana Hanung memahami agamanya? Untuk yang terakhir, agaknya saya terlalu lancang dan keterlaluan jika menghakiminya. Tapi saya membaca majalah Madina edisi Anniversary (Januari-Februari 2009) soal Palestina, dan di sana Hanung berkomentar bahwa sejak kiblat umat Islam dipindahkan dari Masjidil Aqsa di Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah, maka sejak itu ia bukan menjadi Tanah Suci lagi. Bagi saya, ini pernyataan yang keterlaluan, mengingat banyak sekali data sejarah atau ayat suci dan hadis yang menyatakan sebaliknya. Bahkan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Yerusalam adalah kota suci bagi tiga agama samawi, termasuk kota suci ketiga umat Muslim sedunia setelah Mekkah dan Madinah.

Representasi

Madzhab realisme, menurut Roy Armes, mengandung tiga tujuan: memaparkan realitas apa adanya, imitasi realitas, dan mempertanyakan realitas. Agaknya, yang terakhir ini adalah pilihan PBS. Tentu saja, dalam film, realitas ini adalah “realitas” karena terkonstruksi, dipilih, dipilah, diracik dengan gaya dan formula tertentu, baru disajikan. Belum lagi status fiksi yang melekat padanya. Realitas apa, yang mana, menurut siapa? Jawabannya adalah “realitas” yang terepresentasi dalam film.

Yang menarik, setelah menonton bersama, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyatakan bahwa orang yang mengkritik kurang paham persoalan. “Mereka sebenarnya membela Islam, jika Islam tidak seperti itu sebenarnya. Perempuan sering ditindas. Tapi padahal Islam tidak menindas perempuan,” ujarnya (10/2/2009). Menurut Ibu Menteri, dalam film itu digambarkan ketika ajaran Islam tidak dijalankan dengan baik dan dipahami secara keliru.

“ Ada yang keliru dalam memahami ajaran Islam, nilai-nilai Islam. Kalau saya menganggap ajaran saya mengajarkan kedamaian, kebaikan, keharmonisan ya itulah yang seharusnya. Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam,” tandas putri proklamator Bung Hatta ini.

Pernyataan ini menarik, berhubungan dengan teori representasi. “Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam”. Lantas apa yang digambarkan film itu? Tepatnya: apa yang direpresentasikan film itu? Pesantren yang menindas perempuan, Islam yang menekan dan mengekang kaum wanita. Adakah di sana Islam yang membela dan membebaskan perempuan? Tidak ada.

Dalam pernyataanya yang disitir pers, dan dinyatakan di atas, Hanung menyatakan bahwa PBS justru menekankan bahwa pada Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, dan pesan itu ditampilkan oleh karakter Khudori. Pertanyaannya, ayat dan dalil Islam yang mana yang menyatakan kesetaraan gender itu? Tokoh Khudori, yang berpotensi menjadi pahlawan, tidak melakukan pembelaan yang kuat dan proporsional. Ia lemah, lebih lemah dari tokoh Fahri di AAC. Film itu benar-benar menggambarkan pesantren dan kyai yang, dalam istilah Meutia (dan Hanung pula) “keliru dalam memahami ajaran Islam”. Tentu saja, kita mengetahui bahwa itu Islam yang keliru. Tapi, di film itu, adakah yang “meluruskan” kekeliruan dan kesalahan itu? Adalah representasi di film itu yang, katakanlah menyatakan bahwa itu keliru dan meluruskannya? Tidak ada. Kebebasan wanita diperoleh dengan direbut, lewat ilmu pengetahuan, sastra, buku, wawasan, dari luar Islam. Mau tak mau, kita harus menyatakan bahwa itulah representasi Islam dan pesantren di PBS: Islam yang tak hanya zalim kepada perempuan, tetapi juga anti-intelektual.

“Lho tapi itu kan kasus yang salah?” Atau dalam istilah Bu Menteri, “mereka sebenarnya membela Islam, jika Islam tidak seperti itu sebenarnya”. Betul. Tapi, apakah dialog seperti itu ada dalam PBS? Di scene atau dialog yang mana letak pembelaannya?Adakah penggambaran “Islam yang benar”? Ada, memang, tapi lemah dan tak signifikan, serta tak bisa membendung (generalisasi) pencitraan buruk pesantren.

Secara gampangannya begini: seandainya film ini diputar di Berlin atau New York, bagaimana kira-kira pandangan orang-orang bule itu terhadap Islam? Sebuah pesantren yang ramahkah? Islam yang membebaskankah? Islam yang “benar”-kah? Kalau kita putar di lingkungan pesantren, apakah film ini dekat dengan kehidupan mereka, atau dengan kata lain: apakah PBS merepresentasikan mereka? Kalau selon, silakan saja tur keliling pesantren, di Jombang atau Jawa Timur. (Oh ya, di Jombang saya rasa tidak ada pantai, tapi ini soal lain). Bahkan, silahkan ke Ngruki sekalian, jika mau nakal.

Pamungkas

Singkat kata, film ini secara ideologis, epistemologis dan ontologis bermasalah. Hanung (bagaimana pun, dia adalah aset bangsa yang telah menelurkan Catatan Akhir Sekolah dan Get Married!) yang sebenarnya pro-Islam (yang membebaskan dan ramah perempuan) malah ditafsirkan sama sekali berlawanan darinya. Dan nyaris tak ada representasi Islam yang membebaskan dan ramah perempuan dalam film ini. Sederhananya, pesan dari pak sutradara (pendekatan posisi ideologis) tidak tersampaikan sebagaimana mestinya, dan filmnya sendiri (pendekatan representasi) tidak membuka banyak ruang untuk keterwakilan Islam yang, mengutip Meutia, “sebenarnya”.

Dan, pernyataan Hanung dalam blognya justru kontraproduktif dan menegaskan ambiguitas posisi ideologisnya yang terepresentasi dalam PBS: dari “Islam adalah wacana dan wahana pembebasan” menjadi “pilih kebebasan, atau pilih Islam? Karena tidak ada pilihan kebebasan dalam Islam, apalagi kaum perempuan”. Karena justru kaum yang protes itu adalah kaum yang percaya bahwa Islam adalah jalan pembebasan, sama persis seperti niat Hanung semula. Ternyata, dalam kasus ini, hadis “sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya” tidak terejawantah. Wallahua’lam.