08 April 2009

Barangkali

Oleh Aqil Fitri

Sekarang, semua kemaruk statistik. Bidang ekonomi, Islam, biologi, politik, pendidikan, dll, semuanya terburu-buru mengejar angka, dan mempertontonkan jumlah. Statistik, atau perangkaan, kini tak lagi jadi milik angkawan.

Tapi, apapun bidang yang dilekatkan dengan statistik, tak siapa sangka hubung-kaitnya dengan bahasa. Bukan dalam ertikata melakukan soal selidik, sebaleknya menerusi filologi terdalamnya.

Salah satu aspek yang penting dalam statistik adalah kebarangkalian. Kita memanggil kebarangkalian sebagai kata ganti bagi probability. Walau bagaimanapun, dalam diam-diam, istilah kebarangkalian tampaknya lebih bermutu, dan lebih jitu dari istilah probability.

Bahasa Inggeris memadankan probability dari probabilis, dari pinjaman bahasa Latin. Makna asal dari tujuan istilah ini sebenarnya lebih dekat kepada likely, bukannya probability. Tapi, dunia statistik telah lazim dengan istilah probability, dan mewarnai kata tersebut dengan makna tertentu.

Justeru, kesilapan pertama Bahasa Inggeris ditiru sepenuhnya binaan ilmu dalam minda kita.

Tapi, makna terbaik kebarangkalian bukanlah terkekang pada makna probability. Malah, konsep kebarangkalian tampaknya lebih bagus berbanding probability, dan tentunya lebih menepati makna asal yang tercantum dalam probabilis, atau likely tersebut.

Mengapa demikian?

Kerana, kebarangkalian sebenarnya lebih tersukat berbanding probability. Dari bahasanya, kebarangkalian lebih terhitung. ¨Barang¨ dan ¨kali,¨ adalah cantuman kata yang membawa makna yang lebih tajam dan lebih tentuistik. Sudut bahasa inilah yang tak terdapat dalam probability yang dipinjam dari probabilis.

Namun, kita tak selalu diasuh untuk percaya pada diri sendiri. Kita tak diajar untuk berfikir aneh. Dan, tak dididik untuk menggali kelebihan ilmu dalam tubuh sendiri. Maka ketiadaan budaya ini akhirnya meminggirkan banyak konsep-konsep baru yang tertanam dalam khazanah sendiri.

Sudahnya, kita ghairah menuruti barat. Namun, sebagai salinan, apakah kita akan mengatasi barat? Sementara, barat kini bukan saja telah hadam apa yang tertanam dalam tubuhnya, tapi sudah mulai masuk ke khazanah-khazanah luar demi memperkayakan khazanah mereka yang sedia ada.

Kita pula terus terpana, memandang luar sempurna. Kita memilih meninggalkan khazanah sendiri, pergi menyalin dengan taasubnya. Bayangkan, jika inilah pilihan hukum, maka apakah kita akan mengatasi barat? Logik statistik ada jawapannya: kebarangkaliannya sifar!