08 April 2009

Sampaikanlah Walau Satu Ayat?

dikutip dari suluk

[TANYA] mengapa para sufi “terkesan” (kesan itu bisa jadi bener bisa jadi salah…) menutup diri dan, memilih2 “murid” dalam memberikan bimbingan… sedangkan kita diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan walau hanya 1 ayat…

mengapa tidak ber”syiar” seperti para ulama-ulama atau mereka yang mengaku-aku sebagai ulama… hehehehe. Makasih Mas. [Dewo]

[JAWAB] Sebenarnya bukan pilih-pilih murid, sih. Yang terjadi sebenarnya mekanisme natural: bahwa makanan baru bermanfaat jika diberikan kepada orang yang memang lapar atau membutuhkan. Sayang sekali jika kita, sebagai manusia, memberikan makanan kepada yang memang tidak membutuhkan. Bisa dianggurin sampai menjadi busuk, dibuang, atau bahkan membuat muntah yang bersangkutan. Padahal masih banyak sekali orang selain dia yang benar-benar membutuhkan makanan.

Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa butuh makanan. Orang yang merasa sehat, tentu tidak merasa butuh dokter. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa butuh belajar agama. Orang yang tidak merasa lapar akan pengetahuan tentang Allah, tentu tidak akan merasa butuh belajar tentang Allah.



“Sampaikanlah walau satu ayat,” itu hadits, memang benar sekali. Tapi sampaikan kepada penerima yang tepat (yang memang membutuhkan), dan waktu yang tepat. Kalau di depan jendela samping sebuah rumah kita taruh speaker ‘toa mesjit’ dan setiap saat kita bombardir dengan ceramah dan ‘kuenceng-kuenceng’ setiap siang atau sore tanpa henti dengan mengatasnamakan dakwah, bisa jadi sebenarnya kita justru menzalimi penghuni rumah. Siapa tahu di sana ada bayi sakit? Orang tua? Atau suami yang baru pulang kerja dan lelah, sehingga gangguan itu malah membuatnya sensitif dan marah-marah pada anak istrinya.

Selain itu, pada orang-orang yang memang telah menerima tugas dari Allah ta’ala (mengenal diri dan misinya) ada ruang lingkup dakwahnya sendiri, dan Allah sendiri yang menentukan. Tidak semua para peraih kebenaran harus menjadi da’i dan tampil di depan ummat.

Ada yang memang tugasnya menjadi Rasul alam semesta (Muhammad SAW), menjadi rasul bangsa tertentu saja (Musa, Isa as, dll), menjadi mursyid untuk orang tertentu saja, yang muridnya itulah yang justru harus menjadi nabi (Syu’aib as). Ada yang harus menjadi panglima perang (Sa’ad bin Abi Waqqash). Ada yang harus menyampaikan khazanah ilahiyah melalui puisi (Jalaluddin Rumi). Ada yang harus membuat buku (Al-Ghazali). Ada yang harus membuat buku dan menyampaikan ilmu ketuhanan yang rumit dan tidak untuk masyarakat biasa (Ibnu Arabi). Ada yang harus menjadi mursyid dengan penampilan mewah seperti sultan (Syaikh Abdul Qadir Jailani). Ada yang harus terlunta-lunta, sakit kulit dan menggelandang seperti Nabi Ayyub as. Ada pula yang diciptakan untuk kaya raya dan berkuasa seperti Sulaiman a.s.

Banyak sekali ragam tugas dan kemisian, demi menyampaikan, dan –menampilkan–, suatu Khazanah Ilahiyah. Justru jika seorang diciptakan sebagai, misalnya, panglima perang, namun ia malahan tampil di depan podium dan berdakwah dengan cara klasik, ia justru menyalahi kehendak Allah bagi dirinya. Ia menyalahi tujuan penciptaannya.

Bukan berarti orang-orang ini tidak berdakwah. Tapi, apa bentuknya: bicara? berbuat? berfikir? menulis? menyumbang harta? memimpin? Allah yang menentukan. Juga, ruang lingkupnya untuk siapa, untuk ummat-kah, bangsa tertentu kah, orang tertentu kah, atau cukup untuk keluarga, mungkin bahkan cukup hanya untuk dirinya sendiri.

Mereka yang tampil di podium dan berdakwah, atau mereka yang bersurban dan berjubah, tidak berarti mereka menjadi lebih alim, lebih ulama, dan lebih soleh daripada mereka yang tidak tampil di podium dan berpenampilan biasa-biasa saja. Sama sekali tidak. Ukuran kesolehan dan kealiman sama sekali bukan pada tampilan lahiriyah seseorang. Dan, berdakwah untuk ribuan ummat sekaligus belum tentu lebih efektif dan lebih ‘berpahala’ (kalo masih ngitung-ngitung pahala) daripada berdakwah pada beberapa orang saja. Bukan jumlahnya, tapi sejauh jiwa apa orang bisa tertransformasi dengan khazanah Ilahiyah yang ada pada diri kita. Walau hanya satu orang.

Kita ingat hadits yang bunyinya kurang lebih, “Barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa manusia. Barangsiapa membunuh satu jiwa, ia bagaikan membunuh seluruh jiwa manusia.” ‘Menghidupkan jiwa’, secara batin juga berarti membebaskan jiwa manusia dari timbunan sifat jasadiyah dan keduniaannya sendiri.

Banyak orang-orang yang dicintai Allah tapi tidak tampil secara terbuka di podium untuk berdakwah, karena memang bukan tugasnya. Dia dimudahkan pada bidang lain, tidak di bidang itu. (btw, mas dewo sudah melihat tulisan “Waham ‘Kesolehan’, Waham ‘Kekasih Allah’, dan Waham ‘Pembimbing Spiritual’”?)

Yang terpenting, orang-orang seperti ini tidak berdakwah hanya dengan kata-kata atau sekedar mengutip ayat. Mereka benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan atau lakukan. Atau bisa juga, mereka berdakwah ‘bil hal’, dengan perbuatan. Tapi akhlaq, perbuatan maupun khazanah mereka semua sama: Al-Qur’an, Al-Haqq dan kebenaran, meski dari mulut mereka belum tentu terdengar gemar mengutip, mendiktekan maupun ‘berdakwah’ ayat-ayat kepada ummat di depan podium. []