30 Disember 2008
Drupadi : Tragedi Tanpa Poin
oleh Ifan Irfansyah Ismail
Kontributor Rumahfilm.org, Jakarta
Kisah Drupadi, kita tahu, adalah sebuah tragedi. Betapa memilukannya memang, ketika nasib seorang wanita dipermainkan lewat sekeping dadu, dan oleh ulah orang-orang yang semestinya mencintainya. Tapi jika film tentang Drupadi juga sebuah tragedi, saya tidak tahu harus bagaimana lagi.
Drupadi adalah buah kerja kanca-kanca lawas Riri Riza-Dian Sastro-Nicholas Saputra. Film yang diproduseri dan dibintangi Dian Sastro ini berdurasi pendek, hanya 45 menit, dan mungkin hendak ikut meramaikan kembali ajang film pendek Indonesia. Tapi, sebetulnya apa yang bisa didapat dari film ini? Kisahnya, tentu saja telah menjadi klasik. Drupadi adalah istri para Pandawa yang dinistakan oleh Kurawa (dan juga Pandawa sebetulnya) lewat sebuah permainan judi dadu. Sulung Pandawa, Yudhistira, dikenal jujur tapi mudah silau oleh gemerlap dunia judi. Kelak, penderitaan Drupadi membuahkan sebuah sumpah yang ikut menumpahkan ribuan liter darah di padang Kurusetra.
Tapi jangan-jangan layaknya Yudhistira, Riri dan kawan-kawan pun silau oleh gemerlap dunia film berbiaya tinggi. Drupadi digadang-gadang sebagai sudut pandang baru atas penderitaan Drupadi, yaitu sudut pandang sang wanita. Maka kita lihat adegan demi adegan yang gambarnya indah mencoba bertutur: Drupadi dipinang, Drupadi bercinta (dan condong ke Arjuna), Drupadi dijadikan taruhan, Drupadi menderita dan membuat sumpah maut, perang terjadi, dan Drupadi memenuhi sumpahnya. Megah nian. Tapi begitu lampu bioskop menyala, yang saya pikirkan adalah, “and the point is...?”
Baiklah, baiklah. Saya perlu menjelaskan dulu, bahwa yang saya maksud dengan poin cerita tentu tidak harus hadir dari dramatisasi, plot yang jelas, atau aspek-aspek drama ala Aristoteles lainnya. Poin cerita bahkan bisa hadir dari serangkaian imaji yang tampak tidak berkaitan, tapi menyelam dalam laksana puisi.
Lalu, apa problem Drupadi? Antara lain: bahwa meskipun dia mengklaim mengambil sudut pandang wanita, Drupadi gagal mengambil sikap. Yang dilakukannya hanyalah mencomot teks mentah Mahabharata yang ada “baris dialog Drupadi”-nya, lalu menyajikannya setelah dihias-hias. Tidak ada pendalaman atau sesuatu yang baru. Akibatnya, poin cerita gagal disampaikan, atau malahan tidak ada.
Ini jauh lebih fatal daripada kasus 3 Hari Untuk Selamanya. Di 3 Hari..., Riri kedodoran dalam menyusun intensitas cerita. Film itu berakhir seperti seorang pecinta yang ditinggal begitu saja setelah foreplay lama-lama. Tapi, setidaknya, 3 Hari... mampu menelisik dalam ke permasalahan karakter-karakternya, dan membuat film ini jadi sangat personal. Gawatnya, Drupadi malah menggenapkan kekurangan itu.
Selain memiliki kekurangan yang sama (sama-sama foreplay yang nanggung), dia malah gagal pula menyelami karakter-karakternya. Jadi, ketika Dian Sastro mengatakan bahwa film ini mampu membuat perempuan lebih berdaya, saya hanya terlongo. Di mananya, ya, dayanya?
Atau mungkin kekuatan film ini terletak di production value-nya yang dahsyat? Ya, ya, saya lihat departemen visual dan properti telah bekerja keras. Setnya megah, pemandangannya indah, dan pemainnya cakep-cakep. Tapi, astaga, hal ini justru membuat Drupadi semakin terpuruk sebagai tragedi (filmnya, lho, ya). Bagaimana mungkin semua upaya, kerja keras, keringat dan uang itu habis untuk sebuah ...apa ya? Sesuatu yang tidak memiliki sikap, mungkin?
Seolah belum cukup jadi tragedi, situasi dan kondisi membuat Drupadi tidak terhindarkan dari pembandingan terhadap pendahulunya. Sebutlah Opera Jawa-nya Garin Nugroho yang jejaknya terlihat jelas di sini. Tapi, Opera Jawa adalah sebentuk permainan yang didasarkan pada dialog antar gagasan dan antar medium. Sebuah upaya yang tidak mudah dan tidak selamanya berhasil. Sebaliknya, Drupadi menghindar dari pergulatan itu dan malah mengambil penampakan kulit terluarnya, lalu mengira itu sudah cukup. Belum lagi jika kita ingat bahwa film ini kecil kemungkinannya dirilis untuk khalayak umum. Sudah pemirsanya terbatas, tidak memberikan apa-apa pula.
Kekurangan nan fatal ini membuat Drupadi tidak bisa lagi dinilai dari segi kekaryaannya belaka. Kita harus bertanya-tanya, konteks apa yang membuat film ini dibuat, di luar pernyataan verbal para pembuatnya. Percobaan kolaborasi? Pembuktian diri? Parade kegemerlapan? Pada akhirnya, saya hanya bisa menerima Drupadi sebagai tamasya mata yang mengasyikkan. Tidak lebih.
Selebihnya hanyalah rentetan peristiwa yang berlalu begitu saja tanpa bekas. Fakta bahwa ulah Pandawa tidak pernah dipermasalahkan mungkin sedikit mengganggu; tapi pendangkalan sosok Karna menjadi bajingan yang diracun kesumat hampir tak termaafkan.
Terakhir, marilah kita bersyukur bahwa sosok Drupadi sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada), karena sumpah mautnya untuk mencuci rambut dengan darah bisa gawat kalau diucapkan gara-gara menonton film ini.
Oh, tapi saya bukan penonton yang tidak tahu terima kasih, kok. Terima kasih untuk gula-gula visualnya ya.
PS:
Doppelganger saya mengingatkan, “Fan, liat nggak? Dian Sastro kok mainnya tipikal banget ya? Trus apa kamu merasa bahwa Butet mulai typecast...”
“Ssst,” potong saya. “Jangan. Ingat nasehat Russell Edwards, kritikus film untuk majalah Variety di semiloka master class JIFFest kemarin. Jangan mengritik bintang filmnya. Kasihan.”
Dir. Riri Riza, Scr. Leila Chudori, 2008, Color, 45 min., 35 mm.
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan