oleh: HAMID BASYAIB
eseiANWAR Ibrahim pantas dijadikan guru oleh banyak politisi Asia. Ilham yang disajikannya melampaui apa yang ditunjukkan Deng Xiaoping, Kim Dae-jung, atau
Benazir Bhutto.
Ia bukan hanya contoh terbaik tentang jatuh-bangun politik yang ekstrem dihadapi dengan penuh martabat. Ia menunjukkan bahwa politik merupakan paduan tepat
antara cita-cita kenegaraan yang berjangkauan jauh dan luas, landasan intelektual yang kokoh, dan pragmatisme yang diabdikan demi cita-cita itu.
Dengan gemilang ia menunjukkan bahwa amal politik haruslah dimulai dengan mengatasi rasa benci. Karir politiknya ditapaki dengan tahapan yang mantap, dan kemudian meteorik. Dalam usia 20-an ia menjadi tokoh mahasiswa paling menonjol, pada umur 30-an ia bintang politik Malaysia paling bersinar di generasinya.
Dalam usia 40-an, sarjana sastra dengan bakat beragam ini menjadi 'putera mahkota', wakil dari seorang perdana menteri yang amat kuat, merangkap menteri keuangan di sebuah negara yang ekonominya sedang tumbuh pesat.
Tiba-tiba ia dinistakan dengan bengis; ditahan dan dianiaya oleh kepala polisi negara sampai tulang punggungnya cidera berat dan harus dirawat di Jerman.
Ia dihancurkan dengan dakwaan paling destruktif secara politik (korupsi) dan paling nista secara sosial dalam konteks budaya Malaysia (melakukan sodomi terhadap
sejumlah lelaki).
Martabatnya diruntuhkan justeru oleh orang yang melambungkan namanya dan mentor politiknya, yang kala itu tak terlawan – bahkan oleh seluruh kekuatan politik di Malaysia maupun segala tekanan internasional.
Bintang Asia yang dipandang Barat dengan paduan kagum dan cemas, penggagas 'Asian renaissance' dan juru bicara Islam non-Arab yang fasih dan mampu bicara dengan pelbagai idiom kultural itu terkapar di lantai penjara yang dingin.
Baru enam tahun kemudian Anwar Ibrahim bangkit dari 'makam politik'-nya. Ia keluar dengan raga lemah dan jiwa yang makin kuat. Hari-hari panjang di penjara ia
lalui dengan tekun membaca politik dan polity Malaysia, sambil empat kali menamatkan sejumlah karya Shakespeare dan puluhan karya klasik lainnya.
"Kalau tak mandi atau makan," katanya kepada Time yang pekan lalu memajang fotonya di sampul, "saya hanya membaca – dari pukul 8 pagi sampai tengah malam."
Kemenangan gemilang oposisi dalam Pemilu Malaysia bulan lalu pasti juga berkat peran Anwar dan partai baru pimpinan isterinya sejak ia masuk penjara. Berbagai ketakpuasan sosial memang meluap dan menyebabkan kegagalan koalisi Barisan Nasional yang perkasa selama hampir setengah abad itu.
Tapi ketekunan dan kecerdikan Anwar-lah yang menerjemahkan ketakpuasan itu menjadi jembatan yang menghubungkan jurang-jurang perbedaan di antara partai dan kelompok-kelompok oposisi.
Ia bak pesulap yang sanggup menyatukan partai-partai yang secara tradisional tak terjembatani, terutama antara DAP yang didominasi warga Cina-Malaysia dan PAS
yang memprogramkan syariat Islam (hudud). Hasilnya: BN gagal meraih mayoritas 2/3, dan untuk pertama kalinya perolehan tulang-punggung BN, UMNO, kalah dari
gabungan oposisi (79 berbanding 82 kursi parlemen).
Mungkin Anwar akan mengambil alih salah satu kursi yang diraih isteri dan anaknya, Wan Azizah Ismail dan Nurul Izzah, setelah masa pencekalan politiknya
berakhir bulan ini. Ia akan menjadi suara yang memahami makna dan fungsi oposisi, seraya menerapkannya dengan cerdas dan berwibawa.
Ia bangga dengan Indonesia. Ketika menjadi pembicara di Doha tiga tahun lalu, Anwar panjang-lebar memaparkan Indonesia sebagai contoh kesesuaian Islam dan demokrasi. Pada jamuan makan malam, saya menyalaminya dan berterimakasih, karena ia mengangkat
Indonesia di forum yang dihadiri oleh begitu banyak tokoh dunia Islam dan Amerika.
"Tentu saja saya harus ungkapkan sukses negeri Anda," katanya. "Pengalaman Indonesia sangat mengesankan. Kami perlu mencontohnya. "
Dengan Anwar Ibrahim di puncak kursi oposisi, ada harapan hubungan Indonesia-Malaysia mencapai titik rukun yang semestinya. Kita selalu dapat mengandalkan
Anwar – seorang peminat sastra Indonesia yang bergairah, seorang politisi jiran yang disayangi oleh semua spektrum politik Indonesia.
*Kali pertama tersiar di http://inilah.com, penulis adalah Pengarah Program Freedom Institute.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan