11 Jun 2008

May: Langkah berani Viva filemkan reformasi '98

oleh Hikmat Darmawan (Rumahfilm.org)

resensiKeberanian bukanlah ketiadaan rasa takut.

Pepatah itu saya dengar lagi dari Irshad Manji, seorang aktivis Islam dari Kanada (sekarang tinggal di New York) yang kontroversial karena banyak menggugat status quo dunia Islam, dalam wawancara ketika dia datang ke Jakarta. Waktu itu, saya teringat kapan saya pertama kali mendengar pepatah itu: sebuah komik berjudul Asterix dan Orang-orang Normandia. Mungkin itu pepatah terkenal di Barat. Lengkapnya, ia berbunyi: keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tapi kemampuan kita mengatasi rasa takut itu (oleh Manji, ditambahi ...”untuk melakukan hal yang benar”).

Dan saya teringat lagi ungkapan itu ketika menghadiri press conference film May karya Viva Westi (Suster N). Acara jumpa pers diadakan setelah pemutaran film May untuk wartawan. Sewaktu menonton, saya dalam hati memuji keberanian Viva dalam film ini. Ada banyak keberanian itu: dari segi kekisahan, Viva berani melawan arusutama film Indonesia (di tempat lain juga, seperti Hollywood), yakni menggunakan alur bolak-balik atau alur waktu maju-mundur yang mencampur begitu saja masa lalu dan masa kini. Ini seperti menentang ‘kebijakan’ umum film kita yang agak mengharamkan alur macam ini, karena dianggap terlalu rumit bagi penonton umum.

Tapi lebih dari itu, saya mengagumi keberanian Viva memotret sudut gelap sejarah kita dengan cukup terus terang: kerusuhan Mei 1998, dengan fokus seorang gadis Cina korban perkosaan pada kerusuhan itu. Nama perempuan itu May (Jenny Chang). Bukan hanya hidupnya seorang yang hancur pada hari itu: ibunya (Tuti Kirana, bermain matang di film ini) harus mengungsi dan kehilangan rumah dan kehilangan May dalam kerusuhan itu, mengungsi ke Kuala Lumpur, dan jadi pembantu setengah linglung di sebuah restoran Cina di sana.

Film ini juga menggambarkan hubungan cinta antar etnik yang dirundung tragedi gara-gara hari jahanam itu; juga, menariknya, gambaran orang-orang yang mencari untung dari suasana kerusuhan itu. Saya kira, ini adalah satu dari sedikit film kita yang berani menatap lama-lama hari gelap itu, tragedi Mei 1998 itu dan segala sesudah tragedi itu (lungsurnya Soeharto, berbagai kekacauan sosial-politis sesudahnya, sebelum tiba pada masa pilkada yang riuh-rendah saat ini). Dan sedikitnya film kita yang mengangkat tema ini mengherankan, agak menggemaskan juga.

Hanya ada beberapa film yang mencatat peristiwa besar itu (yang, sebetulnya “besar” dalam ukuran dunia juga –kejatuhan salah seorang diktator terkuat di dunia dengan segala peristiwa traumatik seputar kejatuhan itu), padahal saat ini nyaris orang bisa bicara dan berkata apa saja. Ada dokumenter karya Tino Saroenggalo, Student Movement 1998 (2004); dan ada film cinta berlatar Tragedi Semanggi November 1998 karya Lukmantoro DS, Kutunggu di Sudut Semanggi. Baru-baru ini ada juga sebuah kumpulan film pendek bertema 10 tahun Reformasi 1998 antara lain dari sutradara Ariani Darmawan dan Edwin, 98.08.

Alangkah berani Viva dengan May ini, hingga ia mau memfilmkan tragedi Mei 1998 tidak dari jarak yang aman, pikir saya. Dan ketika saya mengikuti jumpa pers itu, saya menemukan kenyataan lain. Ternyata film ini dibuat dengan diliputi berbagai ketakutan juga. Viva, misalnya, merasa perlu mewanti-wanti bahwa May adalah film fiksi, “bukan film politik.” Lho, saya pikir, jadi “film politik” juga tak mengapa, bukan –memang kenapa? Hari gini....

Dalam jumpa pers itu pula, Viva bolak-balik bilang bahwa ia dan kawan-kawan membuat film ini dengan sangat hati-hati, melalui riset, dan berusaha keras agar jangan sampai menyinggung siapa pun. Ah, saya pikir, itukah mengapa adegan perkosaan yang jadi inti cerita itu sendiri sama sekali tak digambarkan dan hanya disiratkan? Terasa sekali dalam tanya jawab dengan pers itu, bahwa bagi Viva dan kawan-kawan membuat film ini seperti melanggar tabu. Saya jadi berpikir-pikir, apakah mungkin ini warisan paling nyata Orde Baru? Sebuah kecemasan yang hampir otomatis dalam mengungkapkan kenyataan, keengganan untuk konfrontantif?

Demikianlah Jalaluddin Rakhmat pernah menulis, masa Orba melahirkan “Homo Orbaikus” –yakni manusia-manusia yang seluruh mekanisme survival-nya telah ditetapkan oleh keadaan-keadaan Orba. Kita ingat, misalnya, pengawasan ketat rezim Orba terhadap ekspresi pikiran, media massa, seni, juga sampai titik tertentu, terhadap pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dalam lembaga-lembaga keilmuan. Kita ingat ada berapa media dibredel, berapa buku dilarang, dan berapa cendekiawan serta seniman dicekal semasa Orba?

Mekanisme survival yang muncul dalam Homo Orbaikus terhadap situasi itu, antara lain, adalah kecenderungan kuat pada self-censorship. Atau, paling tidak, selalu munculnya perasaan was-was ketika hendak menyampaikan kenyataan secara apa adanya –apabila “kenyataan” yang dimaksud bertentangan dengan opini kebanyakan orang, atau bertentangan (ini yang terutama) opini Negara. Untungnya, walau masih diliputi kecemasan-kecemasan dan kecenderungan self-censorship, Viva tetap berhasil melahirkan May.

Saking senangnya saya terhadap keberanian Viva dengan film ini, saya memaafkan beberapa kekurangan, bahkan kesalahan fatal, dalam film ini.

Kesalahan pertama, pada saat-saat genting cerita, May digambarkan menelepon telepon seluler pacarnya, Antares (Yama Carlos), dari telepon koin di jalan. Telepon umum koin di Indonesia tak bisa menghubungi telepon seluler saat itu. Yang bisa, telepon umum dengan kartu.

Kesalahan kedua, pada hari H kerusuhan dalam film ini, Mama May menyebut bahwa berita di televisi masih sama: mahasiswa masih menduduki gedung MPR. Siangnya, film ini menggambarkan kerusuhan pecah. Jadi, digambarkan di sini, kerusuhan Mei 1998 terjadi setelah mahasiswa menduduki gedung MPR.

Jika kita mengecek kronologi peristiwa Mei 1998, maka alur yang sesungguhnya terjadi adalah: pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Pada 13-14 Mei 1998, kerusuhan terjadi, dengan puncak kerusuhan pada 14 Mei 1998. Baru pada 18 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mendatangi gedung MPR, dan jumlah mereka terus bertambah ribuan orang, menduduki gedung MPR sampai Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.

Kesalahan ketiga, saya dapati sewaktu press screening, yakni adanya beberapa kesalahan ketik dalam teks subtitel. Kesalahan ini cukup mengganggu, karena cukup banyak. Semoga versi bioskopnya tak lagi mengandung kesalahan demikian.

Tapi, sekali lagi, saya memaafkan itu semua. Karena, dari segi jalan cerita, dramatisasi, dan pesan yang hendak disampaikan, film ini cukup enak diikuti, cukup mengharukan. Mungkin karena film ini cukup personal bagi Viva. Film ini seolah sebuah versi panjang dari film pendeknya untuk tugas akhir sebagai mahasiswa IKJ pada 1999, Melihat Dia Tersenyum. Film pendek itu, kata Viva, juga bercerita tentang gadis Cina korban perkosaan pada kerusuhan Mei 1998.

Menurut Viva, salah satu dasar dia membuat film tentang perkosaan pada kerusuhan Mei 1998 ini adalah sebuah surat di rubrik Konsultasi Psikologi Kompas, yang diasuh oleh Leila Ch. Budiman. Surat itu dari seorang dokter, yang bertanya tentang bagaimana menangani seorang korban perkosaan dalam kerusuhan itu, yang sampai hamil setelah perkosaan itu. May menggali lebih jauh apa yang terjadi dalam sebuah peristiwa yang mungkin terjadi itu. Maka, kisah May tak hanya berkutat (walau tetap berpusat) pada perkosaan itu.

May juga menutur, mencoba merenungi, berbagai perasaan bersalah yang ada di sekitar tragedi itu. Film ini mengedepankan May dan ibunya sebagai korban. May diperkosa, dan kemudian ia hamil –kemungkinan karena perkosaan itu, tapi mungkin juga akibat hubungan intimnya dengan Antares (ketakpastian itu sendiri telah mengguncang May yang sangat mencintai dan meyakini kewajiban setianya pada Antares). Tapi, siapa bilang keadaan itu hanya makan korban May dan ibunya saja?

Antares, yang saat May membutuhkannya sedang sibuk mengurusi seorang tokoh politik yang memperjuangkan reformasi, Hariandja (Tio Pakusadewo, seperti biasa bermain matang), juga didera kehilangan dan rasa bersalah. Ia, yang sangat mencintai May, justru menyumbang pada penistaan tubuh May yang memorak-porandakan hidup May dan ibunya. Dan, yang sangat menarik, film ini menampilkan sosok Gandang (Lukman Sardi) yang mengambil untung dari derita ibu May. Sepuluh tahun setelah Kerusuhan Mei 1998, Gandang telah jadi seorang kaya. Ia, bersama istrinya (Ria Irawan), sedang plesir ke Malaysia, ketika tak sengaja Gandang melihat ibu May, Cik Bing, yang tampak linglung. Dalam kilas balik, ternyata Gandang jadi kaya karena membeli sertifikat rumah Cik Bing dan May di Jakarta dengan harga sangat murah –seharga tiket sekali jalan pesawat ke Malaysia. Dengan sertifikat itu, ia memupuk modal membuka usaha laundry yang sukses.

Yang menarik, cara Viva menggambarkan karakterisasi Gandang dan istrinya. Latar Islam yang khas cukup tampak di sini: istri Gandang ingin sekali mereka naik haji, dan membuat sebuah selamatan mewah untuk persiapan kepergian mereka ke Mekkah. Walau tergambar betapa niat naik haji itu bercampur pula dengan kehendak untuk terlihat mapan, Viva tak menghakimi. Viva bahkan memotret Gandang yang mengambil keuntungan di atas penderitaan ibu May (etnik Cina) itu sebagai korban keadaan juga. Itulah mengapa ia risau benar ketika diingatkan kembali bahwa kekayaannya berpijak pada penderitaan orang lain; dan mengapa istrinya bisa memahami upaya penebusan dosa Gandang.

Banyak jenis korban 1998 dalam film ini. Antares ikut Hariandja, yang setelah Reformasi 1998 mendapat banyak proyek sumir dengan uang besar. (Bukankah ini sosok yang sangat tak asing bagi kita, pasca 1998?) Dan toh, ia tak bahagia. Ia merasa berdosa. Keadaan telah memaksanya memilih sesuatu yang tampaknya kecil: tak menjemput May, karena sibuk “mengurusi negara”, di hari genting itu. Para aktivis 1998 mungkin ingat, betapa saat itu keputusan-keputusan kecil bisa berarti banyak. Perubahan terjadi dalam hitungan menit. Dalam keadaan itu, seorang aktivis akan sukar memerhatikan hal-hal kecil, seperti menjemput pacar. Dan dunia Antares runtuh, hanya karena ia mengabaikan hal kecil itu.

Apakah semua korban ini kemudian bergerak menuju sebuah penebusan? Gandang jelas ingin menebus dosanya pada ibu May. Tapi lihatlah, betapa ia menangis tersedu ketika ibu May memanggil-manggil May yang tak ada. Antares berhasil menemui May, meminta maaf, tapi ada kalanya maaf tak menyelesaikan masalah. Dan May, ia menemui anaknya yang lahir setelah perkosaan itu: sebuah masa lalu yang ditampik. Bisakah kita membenci masa lalu kita?

Dan, mengapung di udara para korban Mei 1998 itu, ada sebuah pertanyaan lirih tentang apa makna keindonesiaan saat ini, sepuluh tahun sesudah tragedi itu? Apa makna “Indonesia”, ketika sebagian warganya yang telah puluhan tahun hidup dalam Indonesia tiba-tiba harus mencari keselamatan dan ketenangan di negeri lain? Apa makna “Indonesia”, ketika jarang sekali film kita mengangkat suara para korban seperti ini? Ah, ya, memang pernah ada film-film macam Perawan Desa (1978, dari kisah nyata pemerkosaan Sum Kuning, karya Frank Rorimpandey), Marsinah (karya Slamet Rahardjo, tentang pembunuhan Marsinah dan juga mereka yang dituduh membunuhnya sehingga mengalami penyiksaan oleh aparat), atau Puisi Tak Terkuburkan (karya Garin Nugroho tentang korban negara di Aceh). Begitu banyak korban jatuh demi sebuah “Indonesia” yang kita miliki saat ini –dan begitu sedikit film tentang para korban itu?

Dan kita tahu, salah satu sebab amat sedikitnya cerita tentang korban dalam film kita, adalah pendidikan yang menanamkan rasa takut untuk menyampaikan kenyataan pahit semasa rezim Orba. Rasa takut yang masih menyeruak, meliputi Viva Westi saat membuat film ini. Tapi, kadang rasa takut melahirkan perlawanan juga. Dan adalah menarik bahwa dalam melawan rasa takut mengangkat suara korban dan mereka yang terusir itu, Viva juga melakukan semacam perlawanan estetik terhadap pakem dalam industri film kita.

Viva menutup May dengan sebuah pertanyaan terbuka tentang “akhir bahagia” bagi sebuah film. Seperti saya duga saat menonton (dibenarkan oleh keterangan Viva sendiri dalam konperensi pers, karena banyak wartawan film kebingungan), musik bernada menekan dan menggelisahkan dari Dwiki Dharmawan (yang menata latar musik film ini dengan piawai) yang mengiringi sebuah adegan bahagia para tokoh film ini membuat kita curiga: benarkah akhir bahagia ini yang “terjadi”? Apalagi kamera memang melakukan penyimpangan angle dan tak stabil, seperti nervous (gugup, gelisah), untuk adegan ini.

Adegan yang “aneh” dan tiba-tiba itu sangat pendek, sangat tidak memadai bagi sebuah “akhir bahagia”. Sampai-sampai seorang wartawan film masih muda bertanya pada Viva, kalau ending-nya begitu, apa berarti Viva berpikir akan ada sekuel bagi film May ini? Setelah sedikit tercekat, Viva menjawab diplomatis, “Nggak. Sekuelnya biarkan ada di hati para penonton saja.”

Tidak, wartawanku sayang, bukan sekuel yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah ada lebih banyak lagi keberanian para pembuat film kita untuk menatap diri kita sendiri, menatap Indonesia, apa adanya, dan memfilmkannya secara jujur. Juga, kita butuh lebih banyak lagi orang yang berani mencoba-coba mempermainkan pakem film komersial di Indonesia ini, terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi film nasional kita.***

May
Sutradara: Viva Westi
Skenario: Dirmawan Hatta
Produksi: Fix Picture
Pemain: Jenny Chang, Yama Carlos, Tuti Kirana, Lukman Sardi, Ria Irawan, Ninik L. Karim, Tio Pakusadewo.
Musik: Dwiki Dharmawan


Nota: Hikmat Darmawan adalah Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta

2 ulasan:

Unknown berkata...

artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
Artikel politik terhangat
Artikel anda di infogue

anda bisa promosikan artikel anda di www.infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!

Tanpa Nama berkata...

memang benar. ada sesuatu yang beku dalam industri kita. filem cuma melepas batuk di tangga. tiada keberanian dalam mengungkai perjalanan hidup malaysia yang nyata. kita mungkin bisa memuji jasmin hamid yang bijak menggunakan tema yg boleh dianggap kontrovesi. namun kita perlukan jalan cerita yang lebih terbuka. kalau tidak dimulakan, siapa tahu apa hasilnya nanti?